Selasa, 18 Oktober 2011

MAKALAH APENDISITIS UNTUK KEBIDANAN

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

            Sistem pencernaan terdiri dari saluran pencernaan ditambah organ-organ pencernaan tambahan (aksesori). Fungsi utama sistem pencernaan adalah untuk memindahkan zat gizi atau nutrien, air, dan elektrolit dari makanan yang kita makan ke dalam lingkungan internal tubuh.

Makanan sebagai sumber ATP untuk menjalankan berbagai aktivitas bergantung energi, misalnya transportasi aktif, kontraksi, sintesis, dan sekresi. Makanan juga merupakan makanan sumber bahan untuk perbaikan, pembaruan, dan penambahan jaringan tubuh.

Sistem pencernaan tidak dapat melaksanakan fungsinya jika dalam keadaan terganggu.Walaupun sistem pencernaan mempunyai manfaat yang sangat besar dalam kehidupan kita, akan tetapi tidak jarang juga kelainan pada sistem ini juga dapat mengakibatkan kematian.

Salah satunya adalah apendisitis, penyakit ini merupakan penyakit bedah mayor yang paling sering terjadi dan tindakan bedah segera mutlak diperlukan pada apendisitis akut untuk menghindari komplikasi yang umumnya berbahaya.
                        
B. TUJUAN UMUM

            Untuk mengetahui informasi – informasi tentang penyakit Apendisitis terutama apendisitis akut dan kronik secara lebih dalam dan untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai kasus Apendisitis tersebut agar dapat ditangani dengan baik.

C. TUJUAN KHUSUS

            Agar  setiap orang yang mengalami penyakit Apendisitis akut dan kronik dapat ditanggulangi secara tepat dan cepat oleh bidan sebelum keadaan tersebut semakin parah, dengan cara memberi pelayanan dan menerapkan asuhan sesuai dengan penetuan yang telah ditentukan dan diterapkan.

  

BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. APENDISITIS (RADANG USUS BUNTU)

1.     PENGERTIAN

Apendisitis adalah kondisi di mana infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi. Bila tidak terawat, angka kematian cukup tinggi, dikarenakan oleh peritonitis dan shock ketika umbai cacing yang terinfeksi hancur.       

Apendisitis merupakan peradangan pada usus buntu (apendiks). Merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Usus buntu besarnya kira-kira sejari kelingking, terhubung pada usus besar yang letaknya berada di perut bagian kanan bawah.
             Apendiks merupakan organ yang berbentuk tabung panjang dan sempit. Panjangnya kira-kira 10cm (kisaran 3-15cm) dan berpangkal di sekum. Apendiks menghasilkan lendir 1-2ml per hari. Lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya dialirkan ke sekum. Adanya hambatan dalam pengaliran tersebut, tampaknya merupakan salah satu penyebab timbulnya apendisits. Di dalam apendiks juga terdapat immunoglobulin sekretoal yang merupakan zat pelindung efektif terhadap infeksi (berperan dalam sistem imun). Dan immunoglobulin yang banyak terdapat di dalam apendiks adalah IgA. Namun demikian, adanya pengangkatan terhadap apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh. Ini dikarenakan jumlah jaringan limfe yang terdapat pada apendiks kecil sekali bila dibandingkan dengan yang ada pada saluran cerna lain.

Usus buntu dalam bahasa latin disebut sebagai Appendix vermiformis. Pada awalnya organ ini dianggap sebagai organ tambahan yang tidak mempunyai fungsi, tetapi saat ini diketahui bahwa fungsi apendiks adalah sebagai organ imunologik dan secara aktif berperan dalam sekresi immunoglobulin (suatu kekebalan tubuh) dimana memiliki dan berisi kelenjar limfoid.

            Apendisitis dapat menyerang semua umur, baik laki-laki maupun perempuan. Namun lebih sering menyerang laki-laki berusia 10 -30 tahun.

2.     ETIOLOGI

Penyakit radang usus buntu ini umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri, namun faktor pencetusnya ada beberapa kemungkinan yang sampai sekarang belum dapat diketahui secara pasti. Di antaranya faktor penyumbatan (obstruksi) pada lapisan saluran (lumen) appendiks oleh timbunan tinja/feces yang keras (fekalit), hyperplasia (pembesaran) jaringan limfoid, penyakit cacing, parasit, benda asing dalam tubuh, kanker primer dan struktur.
Diantara beberapa faktor diatas, maka yang paling sering ditemukan dan kuat dugaannya sebagai penyabab adalah faktor penyumbatan oleh tinja/feces dan hyperplasia jaringan limfoid. Penyumbatan atau pembesaran inilah yang menjadi media bagi bakteri untuk berkembang biak. Perlu diketahui bahwa dalam tinja/feces manusia sangat mungkin sekali telah tercemari oleh bakteri/kuman Escherichia Coli, inilah yang sering kali mengakibatkan infeksi yang berakibat pada peradangan usus buntu.
Makan cabai bersama bijinya atau jambu klutuk beserta bijinya sering kali tak tercerna dalam tinja dan menyelinap kesaluran appendiks sebagai benda asing, begitu pula terjadinya pengerasan tinja/feces (konstipasi) dalam waktu lama sangat mungkin ada bagiannya yang terselip masuk kesaluran appendiks yang pada akhirnya menjadi media kuman/bakteri bersarang dan berkembang biak sebagai infeksi yang menimbulkan peradangan usus buntu tersebut.
Peradangan atau pembengkakaan yang terjadi pada usus buntu menyebabkan aliran cairan limfe dan darah tidak sempurna pada usus buntu (appendiks) akibat adanya tekanan, akhirnya usus buntu mengalami kerusakan dan terjadi pembusukan (gangren) karena sudah tidak mendapatkan makanan lagi. Pembusukan usus buntu ini menghasilkan cairan bernanah, apabila tidak segera ditangani maka akibatnya usus buntu akan pecah (perforasi/robek) dan nanah tersebut yang berisi bakteri menyebar ke rongga perut. Dampaknya adalah infeksi yang semakin meluas, yaitu infeksi dinding rongga perut (Peritonitis).
3.     KLASIFIKASI

Apendisitis terbagi 2 yaitu :

a)      Apendisitis Akut

Apendisitis akut adalah peradangan usus buntu mendadak. Pada kondisi ini gejala yang ditimbulkan tubuh akan panas tinggi, mual muntah, nyeri perut kanan bawah, berjalan sakit sehingga agak terbongkok, namun tidak semua orang akan menunjukkan gejala seperti ini, bisa juga hanya bersifat meriang atau mual muntah saja. Gejala klasik pada apendiks akut adalah nyeri atau rasa tidak enak di sekitar umbilikus berlangsung antara 1-2 hari, dalam beberapa jam nyeri bergeser ke kuadran kanan bawah (titik Mc Burney) dengan disertai mual, anoreksia dan muntah (Lindseth, 2006).
Pada pemeriksaan akan ditemukan pasien mengalami demam ringan dengan suhu antara 37,5-38,5˚C dan leukositosis sedang, bila suhu lebih tinggi kemungkinan besar telah terjadi perforasi (Lindseth, 2006;Pieter (ed), 2005). Pada inspeksi perut tidak didapatkan gambaran yang khas.

b)     Apendisitis kronik

Apendisitis kronik adalah peradangan usus buntu yang sudah menahun. Pada keadaan ini gejala yang timbul sedikit mirip dengan sakit maag dimana terjadi nyeri samar (tumpul) di daerah sekitar pusar dan terkadang timbul demam. Seringkali disertai dengan rasa mual, bahkan kadang muntah, kemudian nyeri itu akan berpindah ke perut kanan bawah dengan tanda-tanda yang khas yaitu nyeri pada titik Mc Burney.
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika dipenuhi semua syarat: riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik, dan keluhan menghilang setelah apendektomi. Kriteria mikroskopik apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa, dan infiltrasi sel inflamasi kronik.

4.     MANIFESTASI KLINIK

Apendisitis memiliki gejala kombinasi yang khas, yang terdiri dari : Mual, muntah dan nyeri yang hebat di perut kanan bagian bawah. Nyeri bisa secara mendadak dimulai di perut sebelah atas atau di sekitar pusar, lalu timbul mual dan muntah. Setelah beberapa jam, rasa mual hilang dan nyeri berpindah ke perut kanan bagian bawah. Jika dokter menekan daerah ini, penderita merasakan nyeri tumpul dan jika penekanan ini dilepaskan, nyeri bisa bertambah tajam. Demam bisa mencapai 37,8-38,8° Celsius.

          Pada bayi dan anak-anak, nyerinya bersifat menyeluruh, di semua bagian perut. Pada orang tua dan wanita hamil, nyerinya tidak terlalu berat dan di daerah ini nyeri tumpulnya tidak terlalu terasa. Bila usus buntu pecah, nyeri dan demam bisa menjadi berat. Infeksi yang bertambah buruk bisa menyebabkan syok.

Selain gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul sebagai akibat dari apendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada letak apendiks ketika meradang. Berikut gejala yang timbul tersebut.

1. Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal

Yaitu di belakang sekum (terlindungoleh sekum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda   rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih kearah perut kanan atau nyeri timbul pada saat melakukan gerakan seperti berjalan, bernapas dalam, batuk, dan mengedan. Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi otot-otot yang menegang dari dorsal.

2. Bila apendiks terletak di rongga pelvis
  1. Bila apendiks terletak di dekat  atau menempel pada rektum, akan timbul gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristalsis meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang (diare).
  2. Bila apendiks  terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangannya dindingnya.
Gejala apendisitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit dilakukan diagnosis, dan akibatnya apendisitis tidak ditangani tepat pada waktunya, sehingga biasanya baru diketahui setelah terjadi perforasi. Berikut beberapa keadaan dimana gejala apendisitis tidak jelas dan tidak khas, yaitu :

1. Pada anak-anak

Gejala awalnya sering hanya menangis dan tidak mau makan. Seringkali anak tidak bisa menjelaskan rasa nyerinya. Dan beberapa jam kemudian akan terjadi muntah-  muntah dan anak menjadi lemah dan letargik. Karena ketidakjelasan gejala ini,  sering apendisitis diketahui setelah perforasi. Begitupun pada bayi, 80-90 % apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi.

2. Pada orang tua berusia lanjut

Gejala sering samar-samar saja dan tidak khas, sehingga lebih dari separuh penderita baru dapat didiagnosis setelah terjadi perforasi.

3. Pada wanita

Gejala apendisitis sering dikacaukan dengan adanya gangguan yang gejalanya serupa dengan apendisitis, yaitu mulai dari alat genital (proses ovulasi, menstruasi), radang panggul, atau penyakit kandungan lainnya. Pada wanita hamil dengan usia kehamilan trimester I, gejala apendisitis berupa nyeri perut, mual, dan muntah, dikacaukan dengan gejala serupa yang biasa timbul pada kehamilan usia ini. Sedangkan pada kehamilan lanjut, sekum dan apendiks terdorong ke kraniolateral, sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih  ke regio lumbal kanan.

5.     PEMERIKSAAN

Ada beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan oleh Tim Kesehatan terutama bidan untuk menentukan dan mendiagnosa adanya penyakit radang usus buntu (Appendicitis) kepada pasiennya. Diantaranya adalah pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologi.

a.      Pemeriksaan Fisik

Pada apendisitis akut, dengan melakukan pengamatan (inspeksi) akan tampak adanya pembengkakan (swelling) rongga perut dimana dinding perut tampak mengencang (distensi). Pada perabaan (palpasi) didaerah perut kanan bawah, seringkali bila ditekan akan terasa nyeri dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri ( Blumberg Sign) yang mana merupakan kunci dari diagnosis apendisitis akut.

Dengan tindakan tungkai kanan dan paha ditekuk kuat / tungkai di angkat tinggi-tinggi, maka rasa nyeri di perut semakin parah. Kecurigaan adanya peradangan usus buntu semakin bertambah bila pemeriksaan dubur dan atau vagina menimbulkan rasa nyeri juga. Suhu dubur (rectal) yang lebih tinggi dari suhu ketiak (axilla), lebih menunjang lagi adanya radang usus buntu

b.      Pemeriksaan Penunjang
  • Laboratorium : terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test protein reaktif (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-20.000/mm3 (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat. Jika peningkatan terjadi lebih dari jumlah leukosit tersebut, maka kemungkinan apendiks sudah  mengalami perforasi (pecah).
  • Radiologi : terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-scan. Pada  pemeriksaan ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang  terjadi inflamasi pada apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan apendikalit (sumbatan) serta perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum. Namun pemeriksaan ini jarang membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis. Ultrasonografi (USG) cukup membantu dalam penegakkan diagnosis apendisitis (71-97%), terutama untuk wanita hamil dan anak-anak. Tingkat keakuratan yang paling tinggi adalah dengan pemeriksaan CT scan (93-98%). Dengan CT scan dapat terlihat jelas gambaran apendiksitis.
6.     PENATALAKSAAN

Bila diagnosis sudah pasti, maka penatalaksanaan standar untuk penyakit radang usus buntu (appendicitis) adalah operasi. Pada kondisi dini apabila sudah dapat langsung terdiagnosa kemungkinan pemberian obat antibiotika dapat saja dilakukan, namun demikian tingkat kekembuhannya mencapai 35%.

Bila dari hasil diagnosis positif apendisitis akut dan kronik, maka tindakan yang paling tepat adalah segera dilakukan apendiktomi. Apendektomi dapat dilakukan dalam dua cara, yaitu cara terbuka dan cara laparoskopi. Apabila apendisitis baru diketahui setelah terbentuk massa periapendikuler, maka tindakan yang pertama kali harus dilakukan adalah pemberian/terapi antibiotik kombinasi terhadap penderita. Antibiotik ini merupakan antibiotik yang aktif terhadap kuman aerob dan anaerob. Setelah gejala membaik, yaitu sekitar 6-8 minggu, barulah apendektomi dapat dilakukan. Jika gejala berlanjut, yang ditandai dengan terbentuknya abses, maka dianjurkan melakukan drainase dan sekitar 6-8 minggu kemudian dilakukan apendisektomi. 

Namun, apabila ternyata tidak ada keluhan atau gejala apapun dan pemeriksaan klinis serta pemeriksaan laboratorium tidak menunjukkan tanda radang atau abses setelah dilakukan terapi antibiotik, maka dapat dipertimbangkan untuk membatalkan tindakan bedah.

Pembedahan dapat dilakukan secara terbuka atau semi-tertutup (laparoskopi). Setelah dilakukan pembedahan, harus diberikan antibiotika selama 7 – 10 hari. Selanjutnya adalah perawatan luka operasi yang harus terhindar dari kemungkinan infeksi sekunder dari alat yang terkontaminasi dll.

Sebelum operasi dilakukan klien perlu dipersiapkan secara fisik maupun psikis, disamping itu klien juga perlu diberikan pengetahuan tentang peristiwa yang akan dialami setelah operasi dan diberikan latihan-latihan fisik ( pernafasan dalam, gerakan kaki dan duduk ) untuk digunakan dalam periode post operatif. Hal ini penting, karena banyak klien merasa cemas atau khawatir bila akan dioperasi dan juga terhadap penerimaan anastesi.

Untuk penatalaksanaanya pada pasien ini dapat dilakukan apendiktomi untuk mencegah komplikasi yang lebih lanjut. Penundaan tindakan bedah sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi. Didukung dengan keadaan umum dan hasil lab yang mendukung untuk dilakukannya apendiktomi.

7.     KOMPLIKASI

Pada kebanyakan kasus, peradangan dan infeksi apendisitis mungkin didahului oleh adanya penyumbatan di dalam usus buntu. Bila peradangan berlanjut tanpa pengobatan, usus buntu bisa pacah. Usus buntu yang pecah dapat menyebabkan :

a)      Masuknya kuman usus ke dalam perut, menyebabkan peritonitis yang bisa berakibat fatal.

b)      Terbentuknya abses.

c)      Pada wanita, indung telur dan salurannya bisa terinfeksi dan menyebabkan penyumbata pada saluran yang dapat menyebabkan kemandulan.

d)     Masuknya kuman ke dalam pembuluh darah (septikimea) yang bisa berakibat fatal.

8.     PENANGANAN YANG DILAKUKAN OLEH BIDAN

Apabila bidan mendapati seseorang yang mengalami apendisitis akut ataupun apendisitis kronik, maka tindakan yang dilakukan adalah :

a.       Melakukan segera pemeriksaan keadaan umum meliputi tanda vital (nadi, TD,        respirasi dan suhu).

b.      Memberikan Antibiotik.

c.       Apabila apendisitis yang dialami klien semakin memburuk maka bidan segera menjelaskan kepada klien bahwa tindakan operasi harus dilakukan agar tidak memperburuk keadaan.

d.      Memberitahu keluarga dan memberikan dukungan kepada klien.

e.       Apabila klien datang dengan keadaan yang lemah, maka klien harus di infus sebelum dilakukan melakukan Rujukan.

f.       Mempersiapkan Rujukan segera agar ditindaklanjuti dengan baik.


BAB III
PENUTUP

  1. KESIMPULAN
  1. SARAN
Seorang bidan maupun dokter seharusnya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi seorang pasien untuk menjalani sebuah metode terapi agar tidak terjadi keterlambatan pengobatan sehingga komplikasi penyakit lebih berat dapat dihindari. Bidan juga harus melakukan tindakan segera untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan.

            Kami mengharapkan saran-saran yang membanggun dari teman-teman, mengingat makalah yang kami buat masih sangat jauh dari kesempurnaan.


DAFTAR PUSTAKA

·        Heller Luz. 1991. Gawat Darurat Ginekologi Dan Obstetri. Penerbit EGC. Jakarta

·        Anderson Price Sylvia,dkk. 1991. Patofisiologi Edisi 2 Bagian 4. Penerbit EGC.    Jakarta

·        Scott, James R. 2002. Buku saku Obstetri dan Ginekologi. Penerbit Widya Medika. Jakarta.

·        Saifuddin, Abdul Bari, dkk. 2006. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Penerbit Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta.

·        Saifuddin, Abdul Bari, dkk. 2008. Ilmu Kebidanan. Penerbit Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta.

·        Saifuddin, Abdul Bari, dkk. 2004. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal Dan Neonatal. Penerbit Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta.